Sebuah amplop putih tanpa nama pengirim menyusup di bawah lubang angin pintu rumah beberapa hari yang lalu. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari menerima sebuah kiriman surat dari kantor pos di siang bolong, di era serba digital ini.
Aku merobek pinggiran amplop dengan hati-hati.
Oktober 2012
Di antara menit-menitku yang berusaha memelukmu
Hei, aku tahu siapa pengirimnya. Aku membaca suratmu sampai habis dengan masih berdiri di depan pintu. Lututku gemetar.
Rumah kita hanya berjarak 6 kilo, kamu mengirimiku surat melalui pos, ditulis tangan, dimasukkan dalam amplop polos. Itu manis, Dipa. Sayang aku tidak menerima langsung dari pak pos.
Dipa, mungkin kamu benar, tulisanmu serupa coretan-coretan zaman purba di dinding-dinding gua, tapi bukankah coretan zaman purba adalah asal muasal bahasa verbal? Bukan sekedar coretan, 'kan?
Kamu menulis dan mengirimiku surat untuk membuatku bahagia, katamu. Tapi Dipa, dengan menatapmu dan kau membalasnya dengan senyuman saja aku sudah bahagia. Suratmu itu, membuat seluruh tubuhku lemas. Satu hal yang kupikirkan waktu itu, aku ingin cepat bertemu dan memelukmu!
Aku juga bukan penganut fatalisme, tapi mungkin suatu hari kita harus mencoba mengingat-ingat dengan keras, apakah kita pernah saling mencintai di kehidupan sebelumnya. Karena seperti katamu, cinta kita tidak masuk akal kalau dibilang serba kebetulan.
Tuhan punya cara yang indah untuk mempertemukan kita di waktu yang tepat, ya? Atau bahkan sangat tepat?
Ah, terimakasih untuk sepucuk surat manismu, Dipa. Terimakasih untuk kata-kata yang mampu memelukku walau hanya dengan membacanya, terimakasih untuk cinta yang tidak masuk akal, terimakasih untuk waktu-waktumu, terimakasih sudah mau membagi ruang di dalam kamu untuk aku tinggali.
No comments:
Post a Comment
Komentar kalian akan masuk moderasi dulu jika kalian komen di postingan lama. Maka jangan khawatir, komentar kalian pasti akan aku baca. :)