Tuesday, December 23, 2014

Seperti Mawar di Pelataran Rumah

"Kita tentu pernah ada di titik lelah lalu ingin menyerah.
Kita tentu pernah ingin berlari sejauh mungkin dan tidak pernah kembali.
Tapi cinta, dia selalu tahu kemana harus pulang." -Asa

Kamu tahu cinta yang begitu besar akan menyakitimu hingga rongga-rongga paling dalam di jiwamu?
Kamu tahu, orang yang begitu potensial menyakiti hatimu justru orang yang paling kamu cintai?

Aku dan kamu belum sama-sama tumbuh menjadi manusia yang dewasa. Kita tidak mampu mengontrol rasa sayang satu sama lain. Sayang yang begitu besar mampu menyakiti, membuat luka, membuat kita begitu jahat.
Aku pernah katakan, jika mencintaiku hanya membuatmu bertambah sakit, maka berhentilah. Berhentilah mencintai aku dan pergilah, karena pintu hatiku tidak pernah benar-benar terkunci. Kau bisa pergi kapan saja.

Mama juga katakan, "Ketika mencintai seseorang, jangan serahkan hatimu seutuhnya untuk dia. Sisakan setengahnya untuk mencintai dirimu sendiri, dan hal-hal lain. Ketika kamu dikecewakan, kamu tidak akan hancur sepenuhnya. Kamu masih punya sebagian hati untuk mengobati bagian yang tengah terluka."
Maka, aku belajar mencintaimu dengan wajar.

Tapi kamu tahu? Cinta kita mungkin seperti mawar di pelataran rumahku. Mawar yang pernah sama-sama kita tanam dua tahun yang lalu. Aku pernah mencoba memangkasnya. Karena menurutku, mereka tumbuh begitu brutal. Sangat cepat dan sangat lebat. Dan aku tidak mampu memangkasnya hingga akar. Meski aku mencobanya dengan keras. Akarnya sudah begitu kokoh dan kuat, seperti cinta kita. Seberapa sering pun aku berusaha memangkasnya, pondasi yang kita buat begitu kokoh. Aku tidak akan mampu menghapus rasa sayangku, rasa sayangmu, dan rasa sayang kita.
Meski luka yang pernah sama-sama kita buat begitu dalam, kenangan-kenangan manis tentang kita selalu menjadi penawar yang tepat.

Sayang, berjanjilah untuk tidak saling menyakiti lagi.
Berjanjilah untuk bersama-sama tumbuh menjadi pribadi yang dewasa.
Berjanjilah untuk saling mengerti bahwa hidup kita masih sangat panjang.
Berjanjilah untuk mencintaiku sewajarnya saja.
Berjanjilah.
Aku pun telah membuat janji.

Monday, December 8, 2014

Skolioser Bisa Naik Gunung!


Tell me that I can't, and I will show you I can!

Skoliosis membuat segala sesuatu dijalani dengan cara berbeda dari orang normal. But, skoliosis will not define me, it will make me stronger.

Dulu, ketika masih ditangani oleh dokter Alex dari London, aku gak boleh mengikuti olah raga apapun kecuali renang. Lebih-lebih naik gunung.
Alasannya karena; satu, pendaki gunung identik dengan bawaan carrier yang besaaaaar banget, ngalah-ngalahin besar badanku. (Malah mungkin aku muat kalau masuk carrier hahaha!) Punggungku yang notabenenya bengkok, dilarang keras dibebani beban yang amat berat.
Alasan kedua, karena naik gunung menguras tenaga yang besar. Skolioser (khususnya kasusku) capek dikit bisa sesak nafas dan ngilu di sendi-sendi tertentu.

Nah, dua bulan lalu aku tanya sama dr. Fong mengenai niatku naik gunung. Dokter Fong bilang, its okay, aku boleh naik gunung asal Spinecore-ku masih dipakai, dan asal tidak terlalu memaksakan diri.
mendengar itu, aku langsung loncat-loncat gembira. Naik gunung adalah salah satu impian besar yang pernah aku punya. Kenapa? Entahlah, mungkin sudah darahnya, Papa dan Mama ketika masih pacaran dulu, suka naik gunung bareng. Nah loh, jangan salahin dong kalau anaknya juga pengin naik gunung! :p

Perkenalan dengan Embek, Tomi dan Fika membuat aku pengin ikutan naik gunung. Lebih-lebih ketika Embek bilang aku gak perlu bawa carrier waktu naik, biar barangku dibawa dia. Ah, jangankan bawa carrier, bawa botol air mineral saja mereka gak bolehin.

November tanggal 13 lalu, kami berangkat untuk mendaki gunung Merbabu (eciyeeeeeeeeee)
Berangkatlah kami dari Jogja dengan sebelumnya, Embek dan Tomi mengomel karena bawaan bajuku yang menurut mereka terlalu banyak (?) Iya, aku harus bawa lapisan baju untuk brace Spinecore juga. :p

Menuju basecamp Merbabu hari udah malam dan bintangnya banyaaaaaaak banget, aku sama Fika sempat tiduran di aspal sambil lihat bintang waktu nunggu Embek sama Tomi taruh carrier di basecamp.

Besok paginya, kami mulai mendaki. Deg-degan iya, takut nyusahin iya, pokoknya campur aduk deh. Dikit-dikit istirahat, dikit-dikit tarik nafas. Beruntung aku punya teman-teman yang baik, mereka yang udah biasa mendaki mengerti kondisiku beda dan harus sabar menghadapi aku.

Perjalanan naik, gelap karena cuacanya lagi mendung

Setelah lewat dari pos satu, aku merasa mual-mual dan pusing gak karuan. Mereka bilang itu biasa, itu mountain sickness, biasa dirasain sama orang yang pertama kali naik gunung. Lalu muntah-muntahlah aku. Habis itu diketawain sama Embek. Ini orang emang suka banget ngetawain aku. :(

Singkat cerita, sudah lewat pos dua, menuju pos tiga (tempat rencana kami nge-camp) mulai turun hujan, padahal jalannya nanjak dan liciiiiiin banget. Fika setia gandeng dan dorong aku dari belakang biar gak jatuh. Fika, kamu memang wanita tangguh. Pas udah dekat pos tiga, dari belakang, Fika ngomong, "Ayo Asa, dikit lagi, dikit lagi."

Sampai pos tiga kami gak mendapati dua teman yang janjian waktu dibawah, akhirnya kami bangun tenda sendiri dalam kondisi hujan deras dan kabut yang sangat dingin. Aku yang pake jaket aja merasa kaku gak karuan, udah diem aja gak bisa gerak. Fika, Tomi dan Embek yang gak pake jaket udah kuyub banget masih bisa pegang-pegang tenda buat dirakit. Dan di saat itu, Tomi masih bisa ketawa-ketawa dengan badan setengah menggigil. Dalam hatiku, "Ini Tomi sebenernya sehat gak sih?" Tapi mereka kuat banget. Aku salut. Gery pun salut.

Tenda selesai, tapi masalah belum selesai. Hujan yang gak kunjung berhenti itu membuat tenda kami kebanjiran (ini juga karena tendanya jelek dan bolong-bolong) tapi mau gak mau kami tetap harus masuk ke dalam tenda kalau masih mau bertahan hidup hahahaha. Akhirnya, masuklah kami ke dalam tenda. Karena sudut-sudut tenda sudah kebanjiran, kami berempat mepet dan jongkok di bagian tengah tenda sambil ketawa-ketawa. Iya jongkok, karena bawah tenda sudah basah, kalau kami duduk, pantat kami bakal ikut basah, sementara persediaan celana dalam gak banyak (kecuali aku). Ini adalah pertama kalinya, aku ada dalam kondisi yang serba terhimpit tapi masih bisa ngakak bareng-bareng, masih bisa menertawakan keadaan. Segalanya gak terasa berat, malah seru banget! Aku gak tahu, padahal kata Tomi, ini pengalaman pertama naik gunung buat aku yang mungkin aja bikin aku jera tapi nyatanya enggak :p (Mama gak boleh tahu bagian ini, dia pasti heboh kalau tau tenda anaknya kebanjiran :p)

Ini muka mereka yang sempat aku abadikan di saat-saat genting

Kami menertawakan keadaan kami waktu itu, hujan gak kunjung reda. Sampai tawa kami reda. Semua diam, capek, ngantuk dan tertidur dalam posisi jongkok. JONGKOK.

Hujan yang mulai dari jam 3 sore itu baru reda sekitar jam 7 malam. Bayangin dong kami jongkok dan mindah-mindah posisi itu berapa jam. :))
Sesaat setelah hujannya mulai reda, kami langsung beres-beresin dan ngeluarin air yang ada dalam tenda. Tomi sebagai abahnya anak-anak langsung ambil tindakan bikin parit di sekitar tenda dan benahi pasak yang kurang benar, memang abah yang baik. :D
Habis itu, aku dan Fika langsung ambil posisi dan tidur masuk dalam sleeping bed. Sedangkan Tomi dan Embek belum tidur. Mereka ngapain ya? Kayaknya sih ngeringin celana dalam yang basah sambil ngopi dan ngerokok. :p
Udara yang dingin gak bikin tidur kami gak nyenyak lho. Karena semuanya capek dan capek banget hihihihi. Bahkan ketika tengah malam sempat hujan lagi, semuanya gak ada yang bagun dan tetap melanjutkan tidur masing-masing. Meski aku sempat melek dan mikir, "Kalau banjir lagi gimana ya?" sesaat kemudian menimpali pertanyaan sendiri dengan, "Bodo ah, ngantuk." Lalu tidur lagi.

Paginya, aku bangun dengan keadaan kaki yang sedikit kaku dan pegal. Fika udah senyum-senyum aja di sebelah. "Udah pagi, ayo lihat sunrise!"

Selfie sambil lihat sunrise. Belum mandi, belum gosok gigi.

SEGEEEEEEEERRRRR!
Kapan lagi Asa bisa bangun pagi


Setelah puas sama sunrise, kami mulai bongkar-bongkar pakaian yang basah kemarin malam untuk dijemur dilanjutin sama masak bareng-bareng buat ngisi perut. :D

Spinecor sampe ke Merbabu :D



Setelah masak, kami ngelanjutin ngejemur semua peralatan yang basah akibat kena hujan. Termasuk badan kami :p


Kumpulan tenda yang dibangun di pos tiga :)

Sambil jemur badan, Embek dan Tomi nanya, "Mau ke puncak gak?" Aku langsung menggeleng cepat. Kakiku sudah pegal gak karuan, kalau ngotot sampai ke puncak, bisa-bisa saking pegelnya, pulangnya malah gelinding dari atas. :p
Akhirnya kami hanya menikmati pemandangan dan udara di sana. Senang banget rasanya, lihat sekeliling hijau, atas biru, udaranya seger.

Mamaaaaa, anakmu sampai gunung! :D


Sekitar jam dua belas siang, kami beberes ngelipat tenda dan lain-lain buat persiapan turun lagi. Awannya udah mulai gerak-gerak, langitnya mendung. Kabut dingin pelan-pelan mulai mendekat, AAAAAAA NEGARA API MENYERANG!!!!
Setelah semuanya siap dan ringkes, kami langsung jalan turun daaaaaan tes tes tes, air hujan mulai netes dikit-dikit. Jalanan licin banget jadi harus ekstra hati-hati.

Untung Tomi sebagai pemandu (((PEMANDU))) memberikan petunjuk bangaimana cara berjalan yang baik di kala tanahnya sedang licin, dan bagaimana cara memposisikan kaki untuk menahan beban badan kita agar tidak tergelincir. Wih, asik. Fika juga masih di belakang siap menarik kalau-kalau badanku gak seimbang (beberapa kali sempat hampir terjatuh karena aku goyah. Aku goyah mas, aku goyah.) Kalau Embek? Ya kadang-kadang ngetawain aku kalau pas nemu jalan gak turunan dan aku lari, katanya bentukanku dari belakang lucu karena jaketnya yang kegedean ini. Huh. Eh, tapi dia baik kok, dia bawain bajuku yang gak sedikit itu. Tuh, kamu aku puji lho, Mbek.

Dan ternyata hujannya labil, waktu udah jalan lumayan jauh, hujannya berhenti, ujan lagi, berhenti, ujan lagi. Uh pucing pala dedek jadinya.

Perjalanan pulang

Perjalanan turun gak memakan waktu selama perjalanan naik. Kira-kira dua jam kami sudah ada di pos satu, sudah dekat dengan basecamp (ya gak deket-deket banget sih).

Jam tiga-an kami akhirnya sampai di basecamp dan istirahat sebentar. Ngopi-ngopi dan tidur-tidur ayam sebentar. Teruuuuus kami langsung lanjut pulang ke Jogja. Ternyata perjalanan pulang pun hujan, tapi karena kami gak kelunturan kalau kena hujan, jadi ya ditrabas aja tanpa pakai jas hujan. Petarung jalanan kok.

Antara seneng karena udah berhasil naik dan turun dengan selamat meski gak sampai puncak, tapi sedih juga karena harus pulang, tapi mau gak mau harus pulang, banyak pekerjaan yang menunggu.

Kata Embek, habis pulang dari Merbabu harus tulis cerita di blog dan aku baru sempat nulis ini sekarang. Ini jadi pengalaman pertama yang menyenangkan banget karena isinya cuma ketawa-ketawa doang, gak ada ngambek-ngambek-an, gak ada rasan-rasan-an, semua baik, semua saling bantu, semua saling ngerti. Aku dapat pelajaran banyak dan dapat teman baru yang sangat sangat baik, yang gak ada jaim-jaimnya padahal belum kenal lama.

Aku skolioser dan aku bisa naik gunung. Meski mungkin aku bukan skolioser yang pertama kali naik gunung.
Makasih buat Embek yang udah percaya kalau aku bisa dan dengan spontan ngajak langsung naik Merbabu aja ketimbang ke gunung Purba. Kalau gak diajak gini, mungkin sampai hari ini aku cuma bisa 'pengin' naik gunung. :D :D :D

EKSTRAAAAAAA