Saturday, October 27, 2012

Aku Membenci Jas Hujan

Aku membenci jas hujan
Aku membenci jas hujan karena ukurannya yang kebesaran
Aku benci harus melawan hujan dan angin bersamaan dalam balutan jas hujan yang kebesaran

Aku membenci jas hujan
Ketika hujan turun begitu deras, aku lebih suka merebahkan diri di kasur dan menarik selimut hingga sebatas leher
Atau duduk di bibir jendela cafe, menyeruput cokelat panas dengan buku di tangan sambil menikmati butiran-butiran air menyentuh kulit bumi

Aku membenci jas hujan
Suatu hari aku dan sahabatku mengendarai motor dan hujan turun sangat deras
Kami hanya punya satu stel jas hujan
Ia menyuruhku memakainya, aku tak mau
Aku menyuruhnya memakainya, ia tak mau
Akhirnya kami sepakat untuk sama-sama tidak memakai jas hujan
Kami berdua kehujanan, basah sama-sama

Aku membenci jas hujan

Thursday, October 25, 2012

Mama, Tusuk Sate dan Susu Hangat di Malam Hari

Ketika aku kecil, ketika masih belum bisa mengeja kata 'kecelakaan' dengan benar (karena aku selalu mengejanya dengan 'kelecakaan'), aku suka sekali minta belikan sate. Tapi aku selalu kesulitan menggigit daging sate dari samping, aku selalu memasukkan sate beserta tusuknya ke mulut (seperti mengulum) lalu menariknya dengan gigi.

Hari ini Dipa ingin makan sate, kami berhenti di warung sate yang menyediakan nasi putih. Tiba-tiba aku ingat Mama. Mama selalu memenggal tusuk sate setiap kali aku berhasil memakan potongan daging satenya. Begitu seterusnya sampai potongan daging terakhir di tusuk sate yang kumakan telah habis. Katanya agar ujung tusuk sate tidak melukai langit-langit mulutku.

Waktu itu aku merasa hal yang Mama lakukan adalah hal yang biasa saja. Tapi sekarang aku mengerti, hal yang Mama lakukan adalah hal yang luar biasa. Dia sangat puitis. Mamaku adalah ibu yang baik.


Ketika aku kecil, ketika masih belum bisa mengeja kata 'polisi' dengan benar (karena aku selalu mengejanya dengan 'polisti'), aku suka bangun di pertengahan malam, mengetuk pintu kamar Mama dan meminta dibuatkan susu vanilla hangat. Aku tahu dia mengantuk, tapi aku selalu merengek minta buatkan susu vanilla yang disaring dengan saringan teh agar tidak ada ampasnya (seperti yang selalu dilakukan Mbah Kakung). Dan Mama selalu menurutiku.

Hari ini aku meminum susu kotak rasa stroberi yang kuambil dari dalam kulkas. Dingin dan tidak ada rasa kasih sayang yang aku temukan di setiap teguknya.

Waktu itu aku merasa susu yang dibuatkan Mama sama seperti susu-susu lainnya. Tapi malam ini aku menyadari satu hal, susu vanilla hangat yang dulu selalu Mama buatkan untukku adalah susu paling enak sedunia. Aku merindukannya.


Wednesday, October 10, 2012

Rindu yang Terselip di Kantung Celana

Katamu, kau menitipkan rindu pada sidik-sidik jari yang tertinggal di daun pintu kamarku. Tapi kamu bohong. Aku tidak hanya melihat rindumu di sana, tapi juga di pada dinding-dindingnya, pada sela-sela kaca jendela, di bawah karpet, di sela-sela rak buku. Bahkan aku menemukan rindumu ketika bercermin, serta bayangan wajahmu yang menghardik, "Hei, jangan nakal!"

Ini jam ke 58 kamu pergi, dan ini bukan hal yang mudah. Aku seperti orang gila yang mengulang-ulang cerita tentang kamu pada orang yang sama. Aku bahkan sempat ingin mengatakan "Aku kangen kamu" pada setiap orang yang aku temui. Padahal kamu hanya meninggalkan Jogja beberapa hari. Iya, sebut saja aku gila.

Aku tidak berdiri di samping jendela bus dan melambaikan tangan sampai busmu menghilang dari kejauhan saat itu, tapi aku menitipkan rindu pada kantung-kantung celanamu. Semoga mereka bisa memelukmu di sepanjang perjalanan.

Sepucuk Surat Tanpa Nama Pengirim

Sebuah amplop putih tanpa nama pengirim menyusup di bawah lubang angin pintu rumah beberapa hari yang lalu. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari menerima sebuah kiriman surat dari kantor pos di siang bolong, di era serba digital ini.

Aku merobek pinggiran amplop dengan hati-hati.

Oktober 2012
Di antara menit-menitku yang berusaha memelukmu

Hei, aku tahu siapa pengirimnya. Aku membaca suratmu sampai habis dengan masih berdiri di depan pintu. Lututku gemetar.

Rumah kita hanya berjarak 6 kilo, kamu mengirimiku surat melalui pos, ditulis tangan, dimasukkan dalam amplop polos. Itu manis, Dipa. Sayang aku tidak menerima langsung dari pak pos.

Dipa, mungkin kamu benar, tulisanmu serupa coretan-coretan zaman purba di dinding-dinding gua, tapi bukankah coretan zaman purba adalah asal muasal bahasa verbal? Bukan sekedar coretan, 'kan?

Kamu menulis dan mengirimiku surat untuk membuatku bahagia, katamu. Tapi Dipa, dengan menatapmu dan kau membalasnya dengan senyuman saja aku sudah bahagia. Suratmu itu, membuat seluruh tubuhku lemas. Satu hal yang kupikirkan waktu itu, aku ingin cepat bertemu dan memelukmu!

Aku juga bukan penganut fatalisme, tapi mungkin suatu hari kita harus mencoba mengingat-ingat dengan keras, apakah kita pernah saling mencintai di kehidupan sebelumnya. Karena seperti katamu, cinta kita tidak masuk akal kalau dibilang serba kebetulan.

Tuhan punya cara yang indah untuk mempertemukan kita di waktu yang tepat, ya? Atau bahkan sangat tepat?

Ah, terimakasih untuk sepucuk surat manismu, Dipa. Terimakasih untuk kata-kata yang mampu memelukku walau hanya dengan membacanya, terimakasih untuk cinta yang tidak masuk akal, terimakasih untuk waktu-waktumu, terimakasih sudah mau membagi ruang di dalam kamu untuk aku tinggali.

Tuesday, October 2, 2012

Speechless

Bagaimana rasanya, ketika kamu melihat novel yang ilutrasi covernya kamu desain muncul di toko buku? Terbaring di antara buku-buku lain yang dijual di toko buku? Bagaimana rasanya? Speechless. Ya.

Itulah yang aku rasain ketika melihat cover novel yang sangat familiar (warnanya, gambarnya--walau dalam kondisi terbalik) tiduran manis di antara buku-buku di salah satu toko buku di Jogja. Plus waktu itu lagi bareng Dipa. Rasanya tambah campur aduk. Antara senang, bingung, aneh, senang lagi, bingung lagi. *soalnya gak tahu kapan pastinya novelnya terbit*

Hehehe mungkin karena ini desain ilustrasi cover pertamaku, kata Dipa wajar kalau masih speechless. Walaupun ilustrasinya masih gak bagus-bagus banget, tapi rasa senangnya gak bisa ditutup-tutupin. Apalagi ada namaku di belakang cover novelnya. Terus? Ya pokoknya seneng!

Ah, sampai lupa memperkenalkan novelnya. Judulnya Homeless Bird, cerita gadis remaja India yang harus menikah di usia dini dan mempunyai suami yang sakit-sakitan. Yuk dibeli bukunya, ceritanya pernah jadi pemenang National Book Award lho! :)




Masih aneh lihat nama sendiri di sini.

Postingan ini dibuat sekalian untuk promosi. Ya, promosi desain. Siapa pun yang tertarik dengan desainku, sila menghubungi aku. Eehehehe. Atau kalau mau mampir ke portfolioku monggo klik di sini :)