Hampir 7 tahun aku tinggal di Jogja. Jogja adalah kota tempat mama lahir dan tumbuh, tempat mama bertemu papa, tempat mas lahir, dan tempat aku menghabiskan 7 tahun terakhir dalam hidupku. Pertama kali pindah ke Jogja tidak pernah membayangkan akan tinggal dan menetap di sini selepas kuliah, karena yang aku pikirkan pada saat itu hanya menyelesaikan kuliah dengan baik lalu pulang ke Banjar atau ke Jakarta mencari kerja di perusahaan bergengsi.
Tahun berganti tahun membuat keinginanku untuk pulang ke banjar mulai memudar karena Jogja memberikan rasa nyaman yang luar biasa.
Para kerabat dan sahabat di Banjar selalu beropini alasan aku tidak pulang kembali ke Banjar adalah karena dulu, kekasihku tinggal di Jogja juga. "Gak mau pulang ke Banjar karena pacarnya di Jogja juga ya?" Aku hanya senyum setiap kali ada yang berkata seperti itu.
Sebenarnya bukan itu alasan utamaku. Kalau ya, maka aku sudah pulang sejak aku putus hubungan dengan dia.
Di jogja aku belajar banyak hal, salah satunya dengan menerima hidup serba pas-pasan, tidak banyak menuntut keadaan, dan memakan makanan apapun yang mampu kita beli atau kita masak, pokoknya apapun yang ada, tanpa pilih-pilih mau makan enak terus.
Di Jogja, kepada siapapun kamu menganggukkan kepalamu atau tersenyum atau mengatakan, "Monggo" respon mereka pasti baik sekali, mereka akan membalas senyum kemudian berkata "Nggeh, monggo." Atau di jalan, (ini aku alami berkali-kali) aku adalah orang yang super teledor dan seringkali lupa menutup rit tas ransel, di jalan ketika naik motor, banyak sekali yang menegur, "Mbak, tasnya kebuka." Karena terlalu sering ditegur orang di jalan, aku jadi ikut menegur ketika melihat orang lain yang tasnya terbuka, atau standarnya motornya turun, atau apapun. Positive vibes yang disebarkan orang orang jogja berefek positif juga untuk orang lain di sekitar. Atau ketika kunci motormu ketinggalan di motor, tukang parkir akan mengamankannya tanpa meminta biaya tambahan, tanpa berniat jahat sedikitpun. Atau ketika ponselmu tertinggal di jok bawah stang motor (biasanya yang motornnya matic), tukang parkir yang menemukannya akan mengembalikan dengan baik.
Jogja juga memberikan ruang yang sangat luas untuk para seniman juga pebisnis, juga pebisnis yang merangkap seniman.
Acara-acara seni masih banyak didatangi berbagai kalangan, mereka masih mengapresiasi seniman dan karyanya dengan sangat baik. Hal yang mungkin tidak bisa kudapatkan ketika berbisnis atau berkarya di Banjar. Aku tidak mengatakan kesenian di Banjar tidak dihargai dengan baik, hanya saja, Jogja memberikan ruang untuk berkesenian yang lebih luas.
Aku jadi sangat bersyukur karena Sampan Mimpi diterima dengan baik di Jogja, diapresiasi dengan besar oleh pelanggan-pelanggannya.
Aku sempat mencicipi hidup di Jakarta selama hampir satu tahun, menjadi manusia yang serba terburu-buru, kehabisan banyak waktu dan energi dijalan, kelelahan dan tekanan hidup mengikis energi positif yang dihasilkan dari diri kita. Ketika datang dan hidup di Jogja, rasanya jauh berbeda. Energi positif masih banyak bertebaran di mana-mana.
Gak adil kalau aku hanya menceritakan yang baik-baiknya soal Jogja, tentu ada beberapa hal yang terkadang membuatku sebal, seperti cara orang-orang berkendara di Jogja, atau pada saat musim kampanye tiba, atau pada saat libur tahun baru dan lebaran, Jogja berubah menjadi tempat mengerikan dengan jumlah manusia bertambah berkali lipat di beberapa tempat. Tapi Jogja bukan milik perorangan, maka berbagilah. Orang-orang punya cara sendiri untuk menunjukkan rasa bahagia ketika tinggal atau sekadar mengunjungi kota Jogja.
Jadi, ini kisahku tentang Jogja. Berkunjunglah sesekali ke sini, atau tinggallah jika kalian ingin, mungkin suatu hari kita akan dipertemukan di Jogja.
Salam, Asa.