"Tidak ada orang yang siap kehilangan, Sa." Kata kak Falafu di tengah-tengah obrolan kami di malam itu.
Ya, tidak ada manusia yang siap kehilangan, aku pun. Kehilangan, kesedihan, musibah selalu datang tiba-tiba, tidak pernah ada tanda-tanda.
Aku kehilangan orang yang punya arti besar dalam hidupku, seseorang yang aku anggap bisa mendampingiku kelak, seseorang yang mengerti aku dengan utuh, seseorang yang aku cintai dengan begitu besar. Aku tidak pernah setuju jika orang mengatakan kehilangan hatinya separuh ketika orang yang dia cintai pergi, tidak, aku tidak kehilangan separuh hatiku, aku kehilangan separuh bagian dari aku, aku kehilangan sebagian dari diriku.
Aku berusaha tidak menangis, karena dia benci melihatku menangis, dan menangis hanya untuk orang-orang lemah. Aku bukan perempuan lemah. Aku terpuruk di detik-detik kehilangannya, aku meringkuk di kamar mengutuk diriku sendiri, memandangi ribuan gambar yang kupajang di sudut kamar, memanggil-manggil namanya hingga lelah. Aku hancur berkeping-keping, aku berantakan, di detik itu, aku berharap waktu berputar kembali ke masa-masa aku belum bertemu dengan dia, ke masa-masa aku menjalani hidupku sendiri dan baik-baik saja.
Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk mengenal dan belajar mencintainya dengan baik, aku dan dia bahkan merencanakan masa depan dengan begitu apik, berandai-andai tentang tatanan taman di belakang rumah kami kelak. Dia membuatku jatuh cinta dengan cara yang sederhana, tapi mencintainya tidak pernah sederhana. Dia orang keras kepala yang paling menyebalkan dan tidak pernah bisa kubenci.
Hari-hariku tanpanya tidak pernah mudah, aku selalu memikirkan bagaimana dia menjalani hari ini tanpaku? Apa dia baik-baik saja? Siapa yang akan membangunkannya untuk berangkat kuliah? Siapa yang menemani dia menonton film-film kesukaannya? Siapa yang akan memeluknya ketika dia bersedih, siapa yang akan menyediakan bahu ketika dia lelah, siapa yang akan memberikan semangat ketika hari-hari yang dijalaninya begitu sulit? Entah. Kadang aku berbicara sendiri, dia pasti baik-baik saja, dia akan baik-baik saja.
Seperti aku sekarang di sini, aku baik-baik saja, meski kehilangan tidak pernah mudah bagiku, aku tidak bisa lari, meski hari-hariku kadang pahit, aku harus bisa memeluk kepahitan dengan hangat.
Kehilangan tidak pernah menjadi mudah bagiku, tapi kadang-kadang manusia harus diberi rasa sedih, agar bisa lebih menghargai saat-saat bahagia.